Wona Sumantri, dengan pencak silatnya, berhasil mengalahkan peserta seni bela diri lainnya dan meraih grand champion dalam turnamen bela diri “Mixed Martial Arts” di Maryland AS pada pertengahan bulan Mei lalu.
Wona yang lulusan master di bidang informasi teknologi dari Universitas Maryland ini mengajarkan pencak silat di Perguruan Al Azhar cabang Washington DC. Meski sejak usia 5 tahun di Amerika Serikat tak membuat Wona Sumantri lupa akan akar budayanya di Indonesia.
Pria kelahiran Jakarta 6 Juni 1976 ini merantau karena mengikuti orang tuanya yang bekerja di kedutaan Arab Saudi di Amerika Serikat. Ayahnya yang asli Banten memperkenalkannya kepada ilmu bela diri tradisional Indonesia itu.
“Jadi setiap pagi saya lihat bapak latihan Cimande (aliran pencak silat) sebelum kerja. Itu yang buat saya tertarik,” kata Wona.
Wona menyukai gerakan pencak silat yang bervariasi. “Gerakannya, kalau kuda-kuda kita duduk atau berdiri kita tetap bisa counter attack,” imbuhnya.
Selain itu Wona mengagumi silat justru karena banyak aliran dalam seni bela diri ini. Dia juga belajar sejarah kebudayaan silat juga Indonesia.
“Saya belajar sejarah kebudayaan, selain bela diri ya. Nggak cuman pencak silat tapi kebudayan bangsa saya sendiri. Pencak silat kan banyak aliran, jadi itu yang buat tertarik karena bervariasi,” imbuhnya ramah.
Di Washington DC, Wona menjadi guru silat sejak 6 tahun lalu, mengajar pencak silat di KBRI Washington DC, di Silat Martial Arts Academy yang terafiliasi dengan Perguruan Al Azhar bersama 3 guru WNI lainnya, juga menjadi dosen pencak silat paruh waktu di American University, Washington DC.
“Setiap semester, 30 mahasiswa. Selain gerakan, mereka juga ingin belajar. Saya mengajarkan pencak silat, saya juga mengajarkan kebudayaan Indonesia,” tutur pria yang mengidolakan guru silatnya sendiri, Rifai Syahib, pendekar silat Cimande dari Bintaro.
Dalam Silat Martial Arts Academy, Wona juga berencana menambahkan bidang tari dan batik selain bela diri dalam sanggarnya itu. Adapun respons warga AS sendiri mengenai pencak silat cukup baik.
“General overall baik. Contoh, murid saya dapat beasiswa dari Kementerian Parekraf. Dia ke Indonesia dapat biaya belajar kebudayaan di Indonesia. Karena silat dia tertarik. Jadi pencak silat sebagai alat untk promosikan tourism ke Indonesia,” jelas Wona.
Meski mengakui silat sebagai passionnya, sehari-hari Wona juga berprofesi sebagai konsultan informasi teknologi di perusahaan konsultan swasta. Menjalani sekolah dari semua jenjang di AS, Wona mendalami IT dari sarjana hingga master di Universitas Maryland.
“Pencak silat itu passion. Tapi untuk uang untuk bisa hidup di luar negeri harus IT karena untuk pencak silat aja nggak akan cukup,” tutur Wona dengan jujur. Maklum, Wona harus menyewa tempat latihan pencak silat US$ 6 ribu tiap bulan.
Kini Wona yang masih lajang hidup sendiri di Washington DC, sementara kedua orang tuanya sudah pensiun dan kembali ke Indonesia. Wona mengaku sering kangen dengan kedua orang tuanya.
Pria yang sudah bolak-balik ke Indonesia sejak usia 17 tahun untuk berguru silat di Perguruan Al Azhar ini suatu saat akan kembali ke Indonesia. Namun dia ingin menuntaskan misinya mengembangkan silat dan kebudayaan Indonesia melalui sanggar yang didirikannya Silat Martial Arts Academy.
Apa yang akan dilakukan bila mudik ke Indonesia? “Spending more time sama orang tua karena mereka sudah tua dan travelling ke seluruh Indonesia. Saya baru ke Jawa, Sumatera. Saya mau banget ke Kalimantan, Sulawesi, Lombok,” demikian Wona mengungkapkan keinginannya.
Sumber: voaindonesia.com (14/5/2014), detik.com (19/8/2013)