Kotoran sapi dan ampas tempe ternyata tak hanya sekadar jadi sampah atau pupuk. Di tangan Nadia Mumtazah, keduanya dapat diubah menjadi biogas yang berguna sebagai sumber energi. Hasil penelitian tersebut ia abdikan pada masyarakat hingga akhirnya mendapat penghargaan dalam konferensi mahasiswa, International Student Conference on Advanced Science and Technology (ICAST) 2016 di Kumamoto, Jepang pada Desember 2016 lalu.
Pada awalnya, mahasiswi Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya ini melakukan pengabdian masyarakat di daerah Benowo, Surabaya. Melalui proyek himpuan mahasiswa Teknik Kimia, ia berhasil meningkatkan pendapatan masyarakat Benowo sekaligus mengurangi sampah kotoran sapi dan ampas tempe.
“Jadi limbah kotoran sapinya dan limbah pembuatan tempenya berkurang sekaligus pendapatan masyarakat meningkat dari penggunaan biogas,” tutur Nadia.
Dari pengabdian tersebut, ia terinspirasi menuliskannya dalam penelitian mahasiswa untuk diajukan di konferensi internasional. Pilihannya pun jatuh pada dua konferensi yang diselenggarakan oleh Kida Laboratory, Chemical Engineering Department, Kumamoto University bertajuk Sakura Exchange Program in Science yang belangsung pada 4-11 Desember 2016.
Kedua konferensi tersebut adalah Joint International Symposium on Regional Revitalization and Innovation for Social Contribution and e-ASIA Functional Materials and Biomass Utilization (JISRI e-ASIA) serta The 11th International Student Conference on Advanced Science and Technology (ICAST) 2016 di Kumamoto.
Nadia mengaku tidak mendapat kesulitan selama mengejar program JISRI. Sedangkan untuk mengikuti ICAST, ia harus berkejar-kejaran dengan deadline. “Awalnya saya dapat info ICAST tepat dua hari sebelum deadline pengumpulan abstrak,” tuturnya.
Atas saran dosennya, ia tetap mengerjakan abstraknya selama dua hari. “Ya tidak apa apa. Kan masih ada dua hari,” ucap Nadia menirukan gaya bicara dosennya.
Seusai berbincang dengan dosennya, Nadia segera mengumpulkan berbagai proceeding dan artikel artikel terkait. Tentu bukan hal yang mudah baginya. Sebab, ia harus mengolah beberapa data dari beberapa riset berbahasa inggris. “Pengolahan datanya lumayan susah. Untung saya dibantu ayah dan kakak,” jelasnya.
Selain itu, ia juga kembali mengutak atik peralatan yang pernah ia gunakan selama mengabdi di Benowo. “Peralatan reaktornya masih ada tapi sekarang sudah berkarat,” keluh Nadia.
Meski demikian, ia berhasil menyelesaikan penelitiannya tepat waktu. Ia pun dinyatakan lolos untuk mengikuti kedua konferensi tersebut. Di Jepang, ia sangat antusias menampilkan penelitiannya dihadapan peserta konferensi dan simposium.
Usahanya tidak sia-sia. Meski tidak berhasil membawa penghargaan dari JISRI, pada konferensi ICAST, ia berhasil mendapatkan penghargaan Best Presentation. Dari kedua acara tersebut, ia belajar banyak hal mengenai penelitian mahasiswa.
“Menurut saya ide – ide mahasiswa ITS tidak kalah hebat dari ide ide yang dibawakan mahasiswa asing di konferensi teresbut. Hanya saja mahasiswa ITS perlu belajar lebih mengolah penelitiaannya serta membawakannya di konferensi internasional,” pungkasnya.
Sumber: its.ac.id (07/01/17), ppij-kumamoto.org (16/12/16).
